Majapahit Prana. Kitab
"Pararaton" atau kitab Pustaka Raja adalah sebuah kitab yang memuat
tulisan tentang perjalanan Ken Arok dalam membangun kerajaan Singasari dan
tentang silsilah Raja-raja selanjutnya termasuk Kertanegara yang diceritakan
dalam kitab tersebut, dia dibunuh oleh Jayakatwang, Raja gelang-gelang --
keturunan Kertajaya Raja Kediri terakhir yang dibunuh oleh Ken Arok -- juga
memuat silsilah Raja-raja Majapahit yang merupakan suksesi kepemimpinan
lanjutannya dari Singasari.
Tapi, Kitab
ini ditulis pada tahun 1613 yang merupakan masa kerajaan Mataram Islam; (perlu
diketahui tahun 1613 adalah masa berahirnya kepemimpinan Raja kedua Mataram
yang bernama Mas Jolang atau yang bergelar Hanyokrowati yang meninggal pada
tahun itu ketika sedang berburu di hutan Krapyak. Makanya, ia disebut Pangeran
Sedho ing Krapyak kemudian digantikan oleh anak ke 3 dari istri pertamanya
yaitu Pangeran Martapura) artinya, bisa dikatakan kalau si-penulis kitab ini
bukanlah si-pelaku sejarah yang sebenarnya. Meski di situ disebutkan dengan
jelas jika Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit adalah masih keturunan Ken
Arok dan Ken Dedes, dari Mahisa Wong Ateleng yang merupakan putra kedua
Kendedes --- karena putra pertama Kendedes yakni Anusapati adalah anaknya Ken
Dedes dengan Tunggulametung. Sebab, Kendedes waktu dikawini Ken Arok masih
hamil 3 bulan -- dan Mahisa Wong Ateleng punya anak Mahisa Campaka atau yang
bergelar Narasinga. kemudian, Mahisa Cempaka mempunyai putra Dyah Lembu Tal
yang merupakan ayah Raden Wijaya.
Sedangkan
Kertanegara sendiri (Raja terakhir Singasari itu) adalah anak dari Ranggawuni
yang bergelar Wisnuwardhana. Ranggawuni sendiri cucu Ken Dedes dan Tunggul
Ametung, yang ayahnya Anusapati.
Sedangkan kemudian, tentang siapa penulis buku
setebal 32 halaman dengan lebar halaman seukuran folio tersebut tidak begitu
jelas. Yang menjadi masalah adalah, selama ini kitab tersebut sering dijadikan referensi,
bahan rujukan mutlak bagi sebagian sejarawan di tanah air dalam mengajukan stimulus
tentang silsilah raja-raja Singasari sampai Majapahit. Lebih banyak di pakai
daripada Negarakertagama.
Sedangkan, kenyataannya banyak fakta yang tak ada
dalam kitab Negarakertagama (yang lebih dekat dan terlibat dalam sejarahnya),
namun dalam Pararaton justru ada, termasuk keberadaan penguasa ke 3 Singasari
yaitu "Tohjaya", seorang Raja yang diceritakan pernah mengkudeta
Anusapati dan merencanakan pembunuhan Ranggawuni dan Mahisa Campaka.
Tohjaya,
dalam Pararaton diterangkan dia merupakan anak Ken Arok dari selir bernama Ken
Umang. Selain itu, jika ditelesik kembali bahwa isi tulisan dalam kitab
tersebut -- terutama bab 1 -- pun banyak mengetengahkan unsur "fiksi"
yang sedikit berbau mitologi. Agar lebih jelas akan saya kutipkan beberapa bait
dalam bab 1 (dan agar lebih mudah, akan saya terjemahkan dalam bahasa
indonesia):
"Demikian inilah kisah Ken Arok asal
mulanya ia dijadikan manusia: adalah ia (Ken Arok sebelum berreinkarnasi) anak
seorang Janda dari Jiput. Bertingkah laku Jahat. Selalu menerjang nilai susila.
Mengganggu kestabilitasan para Dewa di khayangan. Ia mengungsi dari Jiput ke
daerah Bulalak, sebuah daerah yang dipimpin oleh Mpu Tapawangkeng yang waktu
itu sedang membangun pintu Gapura (sebagai pintu pemujaan). Mpu Tapawangkeng
bingung bukan kepalang ketika para arwah penunggu pintu Gapura meminta sesaji kambing
merah yang Jantan. "Ini adalah hal yang sangat memusingkan. Karena kambing
merah jantan tak lain adalah manusia dalam kiasan para roh. Sedangkan aku sudah
tak ingin lagi berbuat dosa apalagi harus membunuh" kata Mpu Tapawangkeng dalam
hati. Kemudian datang lelaki dari Jiput yang jahat itu, ia berkata, kalau dia
sanggup dijadikan korban yang dimaksud sang-Mpu tersebut agar hal tersebut
menjadi sarana yang membuat ia bisa naik ke surganya Dewa Wisnu. Dan, kemudian
dilahirkan kembali sebagai manusia yang mulia. Demikianlah permintaannya. Maka
Mpu Tapawangkeng pun merestui. Dan, dipanjatkan puja-puji supaya ia menikmati
tujuh daerah sesudah kematian. Dan, selanjutnya ia pun dijadikan korban. Lalu,
arwah lelaki itu terbang di surga Wisnu dan menemui Bhatara Brahma. Menagih
janji agar diturunkan ke dunia di daerah seputar Kawi. Bhatara Brahma pun
berputar mencari tempat yang tepat untuk meletakkan benih tersebut. Sampai, tersebutlah
sepasang pengantin baru yang kesehariannya sebagai petani, lelakinya bernama
Gajahpara dan perempuannya Ken Endok. Mereka tinggal di desa Pangkur. Bhatara
Brahma pun menemui ken Endok di ladang Lalaten dan menitipkan benih tersebut.
"Wahai wanita bestari kutitipkan kepadamu benih dari keturunan manusia.
Dan, berjanjilah padaku jangan sampai benih ini, nanti bercampur dengan benih
milik suamimu. Dan jika hal itu terjadi niscaya lelakimu akan binasa. Kelak
benih ini bernama Ken Arok yang akan menjadi Raja besar penguasa tanah Jawa."
Membaca
kutipan naskah diatas, tentu yang tercerna dalam pikiran kita adalah justru
sebuah "Mitologi" yang notabene adalah "fiksi" belaka --
yang tentunya mengandung unsur rekayasa. Entah itu berupa pesan apa yang akan
disampaikan sang penulisnya. Apakah pesan moral seperti kebanyakan kitab-kitab
Hindu-Bhuda yang menyiratkan pelajaran tentang kebatinan yang sakral selayak
kitab Bagawadgita atau Gatotkaca Sraya. Atau, cuma rekaan semata. Yang tak
ubahnya sebuah "bumbu" agar cerita menjadi seru seperti novel.
Karena, jika mendeskripsikan Hindu-Bhuda pun, masalahnya pada tahun itu (1613 M-red)
adalah tahun kebangkitan Islam di tanah Jawa pada umumnya. Dan, khususnya Jawa Tengah
maupun Jawa Timur. Sedangkan, jauh pada tahun sebelum itu, sudah pernah muncul
kitab yang isinya tak jauh beda dari kitab Pararaton yakni kitab
Negarakertagama yang bertahunkan 1365 M, yang baik bahasa ataupun teks-nya
begitu halus dan hati-hati. Dimana penulisnya sangat jelas, adalah Mpu Prapanca
yang merupakan pelaku sejarah langsung pada masa kerajaan Majapahit.
Mpu Prapanca
merupakan pujangga kraton yang hidup di masa Hayamwuruk. kitab Negarakertagama
ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Belanda JLA Brandes pada tahun 1894 -- ia
menemukan kitab tersebut ketika membantu expedisi penyerangan di Kerajaan
Lombok.
Kitab tersebut terdiri dari 98 pupuh dimana dalam pupuh 40 sampai 49
juga banyak menerangkan silsilah Raja-raja kerajaan Singasari yang merupakan
nenek moyang Raja-raja Majapahit juga tentang silsilah Raja-raja majapahit sendiri.
Namun, tak dapat disangkal jika kitab ini lebih menjadi "berbeda"
dari yang tertulis di Kitab Pararaton --. Disinilah kemudian timbul dugaan
praktis atau spekulasi para Sejarawan -- karena, jika dalam Negarakertagama
lebih condong "meng-istimewa-kan" Raja-raja sebelum Raden wijaya dan
Kendedes yang merupakan wanita suci, leluhurnya. Mungkin, karena sang penulis
adalah pujangga kraton jadi sedikit banyak mendapat tekanan atau interfensi,
baik interfensi yang bersifat moralis atau interfensi yang sebenarnya. Paling
tidak kitab tersebut sebagai persembahan buat Hayamwuruk, buat leluhurnya.
Akan tetapi,
jika dilihat dari selisih tahun yang jarak rentang waktunya sampai 248-an tahun
antara Negarakertagama dan kitab Pararaton, jelas di Pararaton banyak terjadi penyimpangan sejarah yang perlu diragukan.
Karena 248 tahun itu sama artinya dengan 5 generasi. Itu pun jika dihitung dari
kitabnya, tapi jika dihitung dari Ken Arok yang menjadi Raja yakni th 1222 M artinya
tenggang 391 tahun tentu akan timbul presepsi lain yang artinya cerita itu
lebih remang-remang dari cerita yang sesungguhnya jika dibandingkan dengan apa
yang tertulis dalam Negarakertagama. Atau bisa juga diduga, Pararaton
selayaknya adalah merupakan rasa ketidak puasan terhadap isi naskah Negarakertagama.
Makanya di sini dalam susunan Raja-raja Singasari antara Pararaton versus
Negarakertagama pun banyak perbedaan. Disini Raja ketiga Panji Tohjaya yang
"ada" tertuang dalam pararaton namun di Negarakertagama tidak ada
nama Tohjaya.
Setelah menimbang
akan adanya kelemahan-kelemahan di atas. Saya berpendapat jika sesungguhnya Kitab
Pararaton adalah sebuah kakawin yang tidak lurus akan tetapi lebih dibelokkan
oleh sebuah kepentingan tertentu. Terutama kepentingan penulisnya sendiri yang
hidup dalam keminoritasan sosialnya. Yakni pandangan keagamaan dan perlawanan
"Hindu-Budha-" pada Islam. Dengan kata lain kitab tersebut kurang
valid jika dijadikan acuan untuk rujukan penulisan sebuah sejarah. Karena
mengingat : bahwa tahun 1613 adalah tahun kebangkitan Islam di Jawa -- diwaktu
itu adalah gerakan era paska perang dingin para wali songo dan kerajaan Hindu
Budha -- bisa dibilang Hindu-Budha adalah menjadi kaum minoritas.
(catatan
sumber : lengkap ada pada penulis).
Tag :
opini
0 Komentar untuk "Kitab Pararaton versus Negarakretagama"
Silahkan berkomentar, jaga tata krama dan kesusilaan, jangan menuliskan link hidup pada kotak komentar. Maaf bilamana terjadi keterlambatan balasan komentar anda